Beranda | Artikel
Seri Faidah Ushul Tsalatsah [4]
Jumat, 20 Mei 2016

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “[Kewajiban] Yang Pertama; Ilmu…” Apa yang dimaksud dengan ilmu di sini? Mari kita simak keterangan berikut ini…

Ilmu Yang Wajib Dipelajari

Yang dimaksud dengan ilmu di sini ialah ilmu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sumber dari ilmu itu adalah al-Qur’an al-‘Azhim yang tidak datang kepadanya kebatilan dari arah depan maupun dari arah belakang. Sebuah kitab yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Ilmu yang dapat memisahkan antara kebenaran dengan kebatilan. Ilmu untuk membedakan antara hal-hal yang dicintai Allah dengan hal-hal yang dibenci-Nya. Ilmu yang berkaitan dengan perkara-perkara gaib di masa lalu maupun masa depan. Ilmu yang menjelaskan tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya (lihat al-Ushul fi Syarhi Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21 karya Syaikh Abdullah al-Yahya hafizhahullah)

Dengan kata lain, ilmu yang wajib dipelajari di sini ialah ilmu syari’at. Karena inilah ilmu yang wajib untuk dipelajari. Ilmu syari’at yaitu ilmu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Adapun ilmu-ilmu dunia semacam kerajinan, ilmu hitung, matematika, teknik, dsb maka ini adalah ilmu-ilmu yang mubah. Boleh dipelajari dan bisa jadi menjadi wajib apabila umat butuh kepadanya. Yaitu wajib bagi mereka yang mampu untuk mempelajari dan menguasainya. Meskipun demikian hal itu bukanlah ilmu yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Para ulama adalah pewaris nabi-nabi.” (HR. Bukhari secara mu’allaq). Maka yang dimaksud adalah orang-orang yang memahami ilmu syari’at (lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 19)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah menerangkan, bahwa ilmu yang terpuji dan pemiliknya disanjung di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ialah ilmu syari’at. Yaitu ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya. Sehingga semua pujian yang ada di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah terhadap ilmu dan ahlinya maka yang dimaksud ialah ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah serta pemahaman tentang agama (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/9)

Hukum Belajar Ilmu

Hukum mempelajari ilmu berbeda-beda sesuai dengan objek/perkara yang hendak dipelajari. Ada yang hukumnya wajib semacam mengetahui hukum sholat dan rukun-rukun Islam yang lain. Ada juga yang sifatnya sunnah/mustahab seperti mengetahui perkara-perkara yang mustahab/dianjurkan. Di sisi lain, ada juga ilmu yang haram dipelajari semacam ilmu sihir. Hukum mempelajari perkara syari’at ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah. Yang fardhu ‘ain -wajib bagi setiap individu- misalnya belajar tentang rukun Islam yang lima. Adapun fardhu kifayah maksudnya sebuah kewajiban atas keseluruhan kaum muslimin; sehingga apabila sudah ada sebagian dari mereka yang melakukannya gugurlah dosa dari yang lain. Misalnya belajar ilmu fara’idh/waris, ilmu ushul -ushul fiqih, ushul tafsir, dsb- dan nahwu/kaidah bahasa arab (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 22 karya Syaikh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hafizhahullah)

Keutamaan Menimba Ilmu Agama

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya menimba ilmu adalah nikmat yang sangat agung. Dan sebuah anugerah dari Rabb kita subhanahu wa ta’ala. Karena menimba ilmu itu adalah salah satu bentuk ketaatan yang paling utama, dan salah satu ibadah yang paling mulia. Sampai-sampai para ulama mengatakan, “Sesungguhnya menimba ilmu adalah lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah.” Artinya adalah bahwa memfokuskan diri dalam rangka menimba ilmu itu lebih utama daripada memfokuskan diri untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah seperti sholat sunnah, puasa sunnah, dan lain sebagainya…” (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/5)

Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan -untuk dikonsumsi- dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu maka ia dibutuhkan -untuk dipahami, pent- sebanyak hembusan nafas.” (lihat Miftah Daris Sa’adah, 1/248-249)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan/cara dalam rangka mencari ilmu -agama- maka Allah akan mudahkan untuknya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berangkat di awal siang menuju masjid sementara tidaklah dia berniat kecuali untuk mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang menunaikan ibadah haji dengan sempurna hajinya.” (HR. al-Hakim dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Albani menyatakan hadits ini ‘hasan sahih’ dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi sesungguhnya mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mendapatkan jatah/bagian yang sangat banyak.” (HR. Ahmad, dll. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang ‘alim/ahli ilmu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang di langit dan di bumi, sampai-sampai oleh ikan yang berada di dalam air/laut.” (HR. Ahmad, dll. Disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka mereka/manusia pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-ushul-tsalatsah-4/